Habib Ahmad Kazim Al-Kaff adalah putra kedua dari pasangan Sayyid Luqman bin Abdullah Al-Kaff dan Syarifah Faridah binti Hud Al-Kaff. Beliau lahir pada malam Jum'at tanggal 16 Jumadil Awwal 1397 H (5 Mei 1977) di kota yang dijuluki Hadramaut Tsani (Hadramaut Kedua), Palembang Darussalam, Sumatera Selatan. 

Ayah Habib Kazim (kiri) bersama Habib Abdullah Zaki Al-Kaff
Ayahnya merupakan seorang bersahaja yang memperhatikan pendidikan anak-anaknya dari sejak usia dini. Adapun kakeknya, Sayyid Abdullah bin Abu Bakar Al-Kaff adalah seorang pejuang kemerdekaan yang pada masa hidupnya sempat menjadi anggota DPR-GR dan DPRS/MPRS dari Fraksi Nahdhatul Ulama. Beliau yang juga mempunyai kedekatan khusus dengan Presiden Ir. Soekarno banyak menggunakan pengaruh jabatannya untuk perkembangan dakwah Islam di Indonesia. Diantaranya ikut membantu berdirinya Islamic Center Habib Ali Kwitang di Jakarta.

Kakak satu-satunya sekaligus guru Futhuh (pembuka) beliau adalah Habib Muhammad Rafiq, ulama muda yang sering pulang pergi dakwah ke pelosok Kalimantan hingga Malaysia. Sedangkan adiknya secara berurutan bernama Habib Abdullah Fikri (Bandung), Syarifah Khadijah (Palembang) dan Habib Ali Ridho (Banjarmasin).

Habib Kazim memulai pendidikan dasarnya dari kakak beliau sendiri dan beberapa habaib di Palembang, lalu melanjutkan studi formal sambil tetap mengaji di Madrasah Darul Mutaqqin hingga usia remaja. Sekalipun banyak habaib dan asatidz yang beliau datangi untuk menimba ilmu agama, namun kakak beliau sendirilah, Habib Muhammad Rafiq yang menjadi Murabbi (guru pembimbing) beliau.

Kakek Habib Kazim (tengah)
Hampir sepanjang hidupnya, Habib Kazim selalu menyertai kakaknya dalam berdakwah, hingga akhirnya beliau diperintahkan untuk berdakwah di kawasan Jawa Barat. Habib Kazim lalu memilih kota Cimahi sebagai tempat tinggal. Guna memantapkan dakwahnya agar lebih terorganisir, Habib Kazim kemudian mendirikan Majelis Sayyidul Wujud pada hari Jum’at, 12 Rabiul Awwal 1431 H (26 Februari 2010 M). Sekretariatnya dibuka di kediaman beliau sendiri, Jl. Rancabentang No. 109 Kebon Kopi, Cibereum Kota Cimahi.

Hingga kini majelis yang dihadiri sekitar 300-500 orang dalam pengajian rutin dan hampir 3.000 orang bila tengah menggelar event akbar seperti Maulid, Isra Mi'raj dan sebagainya ini telah menjadi majelis pemuda-pemudi terbesar di Jawa Barat. Jadwal pengajian rutin Majelis Sayyidul Wujud dibuka setiap malam Kamis di Masjid Jami Al-Munawwaroh Rancabentang dengan agenda pembacaan Qasidah Burdah serta kajian kitab Kifayatul Atqiya dan setiap malam Minggu di Masjid Jami Baiturrahim Lembursawah dengan agenda pembacaan Maulid Simthuddurar serta kajian kitab Mukhtarul Ahadits.

Habib Kazim bersama kakak sekaligus guru tercinta, Habib Muhammad Rafiq

Al-Habib Ahmad Kazim Al-Kaff menceritakan; Imam Syafi'i pernah tinggal di Baghdad selama dua tahun, tepatnya tahun 184 H hingga 186 H. Seperti halnya di negeri-negeri yang beliau singgahi, di negeri Seribu Satu Malam ini pun beliau dihormati, dimuliakan dan dijadikan panutan para ulama, termasuk diantara muridnya yang masyhur di Baghdad adalah Imam Ahmad bin Hanbal.

Selama dua tahun menetap disana, Imam Syafi'i banyak menyebarkan ilmu, berkah dan kesan berharga, sampai-sampai penduduk Baghdad menggelarinya dengan sebutan Nashirus Sunnah (Penolong Sunnah). Semua penduduk Baghdad mencintai dan selalu berharap beliau tinggal selamanya di Baghdad.

Namun karena ketentuan takdir, beliau kemudian pindah lagi ke Mesir hingga wafat dan dimakamkan disana. Mendengar panutannya wafat dan dimakamkam di Mesir, beberapa pecintanya dari Baghdad kemudian pergi ke Mesir dengan tujuan mencuri jenazah Imam Syafi'i dan memindahkannya ke Baghdad.

Namun ketika mereka berhasil membongkar makam beliau, tiba-tiba makam tersebut mengeluarkan wangi semerbak yang membuat semua orang hilang akal. Setelah sadar barulah mereka mengerti bahwa Imam Syafi'i memang telah ditentukan untuk dimakamkan di Mesir.
Al-Habib Ahmad Kazim Al-Kaff berkata; Al-Allamah Al-Habib Abdullah bin Muhammad Syahab dan Al-Allamah Al-Habib Hasan bin Abdullah Asy-Syathiri adalah dua ulama Tarim yang digelari Galbu Tarim (Hati Kota Tarim), karena kuatnya pengaruh keduanya dalam sendi-sendi kehidupan, baik kehidupan beragama maupun sosial di kota Tarim.

Ketika Habib Hasan masih hidup, beliau digelari Ainu Tarim (Mata Kota Tarim) dan Habib Abdullah bergelar Qalbu Tarim (Hati Kota Tarim) meneruskan gelar ayah dan kakeknya. Setelah Habib Hasan wafat, gelar Qalbu Tarim dan Ainu Tarim disematkan sekaligus kepada Habib Abdullah hingga saat ini.

Habib Abdullah (kiri) dan Habib Hasan
Adapun orang yang pertama kali bergelar Galbu Tarim adalah Al-Quthub Ar-Robbani Al-Arifbillah Al-Kabir Al-Habib Alwi bin Abdullah bin Idrus Syahab. Setelah beliau wafat, gelar tersebut turun kepada anaknya, Habib Muhammad bin Alwi. Setelah Habib Muhammad wafat, turun lagi kepada anaknya, Habib Abdullah bin Muhammad Syahab yang kini bergelar juga Ainu Tarim. 

Satu hal yang menunjukan keistimewaan orang-orang yang bergelar di atas tersebut adalah tidak ada ulama Tarim yang berani keluar kota Tarim -sekalipun untuk urusan ibadah atau dakwah- kecuali jika telah mendapat izin atau restu dari mereka. Tradisi ini masih berjalan hingga saat ini, semua ulama Tarim setidaknya akan meminta pendapat dan restu kepada Habib Abdullah Syahab jika hendak keluar kota Tarim.
Al-Habib Ahmad Kazim Al-Kaff berkata; Al-Faqih Al-Habib Zein bin Ibrahim Bin-Sumaith dalam kitabnya, Minhajussawi Syarah Ushul Thariqah Saadah Ba'alawi pada bab Ilmu Keluarga Besar Saadah Ba'alawi, diantaranya menuliskan bahwa Al-Quthub Ar-Rabbani Al-Imam Abdullah Abu Bakar Alaydrus Akbar bisa menulis kitab sebanyak seribu jilid hanya untuk menafsirkan huruf Alif. Sedangkan Al-Quthub Al-Imam Umar Muhdhar bin Abdurrahman Assegaf bisa menulis kitab sebanyak muatan unta hanya untuk menafsirkan sebuah ayat dalam surat Al-Baqarah.



Al-Quthub Al-Imam Ahmad bin Zein Al-Habsyi pernah membaca seratus kitab sekaligus dan langsung menghafalnya. Beliau berkata, "Jika semua kitab ini hilang, maka aku bisa mengeluarkannya dari dadaku." Adapun Al-Wajih Al-Imam Abdurrahman bin Abdullah Bilfaqih yang digelari Allamatud Dun-ya (orang paling faqih sedunia) saat itu, wafat dengan meninggalkan 14 jenis ilmu yang belum sempat diajarkan.